Merawat Cagar Budaya Indonesia: Melalui Konsep Natural Heritage Lanscape, Sebuah Upaya Pelestarian Berbasis Komunitas

Banyak peristiwa masa lampau yang tidak diketahui oleh generasi sekarang. Padahal, peristiwa tersebut bisa dijadikan sarana pembelajaran. Tidak sebatas itu saja, peristiwa masa lampau juga bisa dijadikan sarana inspirasi dan sarana memperluas wawasan.

Peristiwa masa lampau yang lebih dikenal dengan sebutan sejarah, memerlukan bukti otentik yang bisa dilihat oleh generasi sesudahnya. Bukti tersebut banyak bentuknya, di antaranya berupa cagar budaya. Peninggalan cagar budaya dapat menunjukkan tinggi rendahnya peradapan suatu bangsa. 

Cagar budaya merupakan peninggalan sejarah yang unik, langka, dan rapuh. Meskipun begitu, cagar budaya tidak bisa diperbaharui, baik secara bahan maupun proses pembuatannya. Inilah alasan mengapa di dalam pelestarian cagar budaya tidak boleh gegabah.


Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai cagar budaya, asalkan memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Berusia 50 tahun atau lebih.
  2. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun.
  3. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.
  4. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Kriteria di atas adalah kriteria berdasarkan UU no 11 tahun 2010. Masih menurut peraturan tersebut, pada pasal 6, menyebutkan bahwa benda cagar budaya dapat:
  1. Berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia.
  2. Bersifat bergerak atau tidak bergerak.
  3. Merupakan kesatuan atau kelompok.
Upaya pengelolaan cagar budaya harus memperhatikan keadaan utuh bentuknya. Hal ini dilakukan agar cagar budaya tidak kehilangan nilainya sebagai bukti bahwa pada masa lampau, peradaban manusia telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Harapannya, bentuk kemegahan masa lampau dapat dimanfaatkan oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Agar cagar budaya bisa utuh bentuknya, hendaknya dalam pengelolaan perlu memperhatikan bahan (material) yang digunakan. Bahan tersebut harus  asli, dan benar-benar berasal dari masa lampau. Tata letak dan teknik pengerjaan dalam pengelolaan cagar budaya juga harus mendapat porsi tersendiri dari tim ahli untuk mengupayakan keutuhan bentuk cagar budaya.

Praktik modernisasi terhadap cagar budaya harus benar-benar dihindari untuk mencegah hilangnya nilai budaya dan historis yang terkandung di dalam cagar budaya. Praktik ini dihindarkan tidak hanya pada objek cagar budaya, tetapi juga pada bentang alam dan bentang budaya yang menjadi satu kesatuan cagar budaya tersebut.


Menurut UU no 11 tahun 2010, pengertian cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Berdasarkan pengertian cagar budaya di atas, jelaslah bahwa Indonesia memiliki banyak cagar budaya yang tersebar di seluruh wilayah nusantara. Cagar budaya yang tersebar tersebut perlu dikaji lagi, apakah sudah seluruhnya memperoleh ketetapan, atau hanya sebagian saja. Pada cagar budaya yang telah ditetapkan, hendaknya dilakukan perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan secara berkesinambungan. Sedangkan pada cagar budaya yang belum ditetapkan, langkah pertama yang harus dilakukan ialah melakukan penetapan. 

Penetapan cagar budaya tidak bisa dilakukan tanpa adanya pendaftaran. Ada dua metode pendaftaran cagar budaya, yaitu metode manual dan metode daring. Pendaftaran manual dilakukan dengan mendatangi kantor dinas yang membidangi kebudayaan. Sedangkan pendaftaran metode daring, bisa dilakukan melalui laman www.cagarbudaya.kemdikbud.go.id.


Pendaftaran cagar budaya dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok orang, maupun badan usaha. Setelah pendaftar melakukan kewajibannya, kemudian tim pendaftaran yang dibentuk oleh kepala dinas yang membidangi kebudayaan, menerima dan mengolah data pendaftaran tersebut. 

Tahapan selanjutnya, tim ahli cagar budaya yang terdiri dari orang-orang yang ahli dalam hal pelestarian yang berasal dari berbagai disiplin ilmu,  melakukan  kajian mendalam terhadap objek cagar budaya yang didaftarkan. Tim ahli inilah yang akan memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan cagar budaya. Adapun mekanisme yang dilakukan, ialah dengan melalui sidang tim ahli cagar budaya.


Konsep Natural Heritage Lanscape dicetuskan oleh UNESCO. Berdasarkan konsep ini, cagar budaya merupakan satu kesatuan dengan bentang alam dan bentang budaya. Akibatnya, di dalam pelestariannya pun tidak boleh meninggalkan aspek lingkungan. 

Indonesia memiliki bentang alam yang luas. Begitu juga dengan budaya, Indonesia sangat kaya akan ragam budaya. Di antara luasnya bentang alam dan beraneka ragam budaya, terdapatlah cagar budaya. Melihat fakta tersebut, seyogyanya pengelolaan cagar budaya tidak bisa dipisahkan dari ekosistem penyusunnya. Contohnya, pengelolaan cagar budaya Candi Banyunibo yang terletak di Kawasan Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Dalam pengelolaan Candi Banyunibo ini, sisi bentang alam dan bentang budaya tidak dilupakan. 

Candi Banyunibo

Bentang alam yang indah di sekitar Candi Banyunibo ditata sedemikian rupa sehingga sangat menarik minat pengunjung. Selain itu, budaya masyarakat sekitar juga tidak dilupakan begitu saja. Justru kedua hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Di Candi Banyunibo ini, pengunjung bisa melakukan berbagai aktivitas tanpa merusak cagar budayanya.   


Berdasarkan UU no 11 tahun 2010 pasal 1 ayat 22, pengertian pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. 

Upaya pelestarian cagar budaya ini hendaknya melibatkan masyarakat secara langsung. Inilah yang disebut kebermaknaan sosial. Masyarakat harus disadarkan akan pentingnya keberadaan cagar budaya. Kesadaran ini tentu akan berdampak positif pada rasa memiliki masyarakat terhadap cagar budaya yang ada di wilayahnya.

Masyarakat yang telah mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap cagar budaya, tentu akan melakukan upaya maksimal dalam upaya pelestarian cagar budaya. Adapun tahapan dalam pelestarian cagar budaya yang harus dimasyarakatkan kepada masyarakat itu sendiri meliputi:
  • Meneliti dan mengungkapkan nilai penting cagar budaya.
  • Melindungi sebagian atau seluruh cagar budaya agar dapat bertahan lebih lama dalam suatu sistem budaya.
  • Menghambat kemerosotan atau kerusakan nilai-nilai pentingnya.
  • Menyajikan nilai-nilai penting tersebut kepada masyarakat.
Masyarakat sadar cagar budaya memiliki kebanggaan yang besar terhadap cagar budayanya. Hal tersebut yang dijadikan landasan bagi pengelolaan cagar budaya berbasis komunitas. Pengelolaan berbasis komunitas ini merupakan wujud pengelolaan partisipatoris yang melihat masyarakat sebagai aktor utama, sehingga konteks arkeologi menjadi bagian yang harus bersinergi dengan masyarakat tersebut.

Sinergitas yang baik antara masyarakat, pemerintah, akademisi dan pihak swasta, akan menghasilkan pengelolaan cagar budaya yang bermanfaat luas. Manfaat tersebut tidak hanya manfaat dari sisi ekonomi, tetapi juga manfaat dalam hal pengetahuan, ideologi, dan sosial. 

Masyarakat sebagai aktor utama, diajak untuk "menghidupkan" cagar budaya yang ada di sekitarnya. Harapannya, kelak cagar budaya tersebut yang akan menghidupi masyarakat secara lahir dan batin. Dampak langsung dari pelestarian cagar budaya berbasis komunitas bagi masyarakat itu sendiri ialah tumbuhnya nilai-nilai budaya kerja keras, hemat, keterbukaan, dan tanggung jawab.

Peran pemerintah dalam pelestarian cagar budaya berbasis komunitas sangatlah penting. Pemerintah berperan mengayomi dan mengawasi sehingga upaya pelestarian tidak keluar dari koridor hukum yang berlaku. Berbagai program pemerintah yang menyasar pada komunitas terus digulirkan. Program tersebut meliputi berbagai penyuluhan dan sosialisasi.

Akademisi juga berperan penting dalam pelestarian cagar budaya. Peranan akademisi ialah memberikan edukasi agar masyarakat sadar akan nilai penting cagar budaya. Melalui keilmuan yang dimilikinya, akademisi terus memotivasi upaya-upaya pelestarian, yang meliputi perlindungan, pemanfaatan, dan penjagaan kualitas cagar budaya.

Sektor swasta tak kalah penting peranannya dalam pelestarian cagar budaya. Sektor ini menjalin kerjasama untuk mengelola cagar budaya agar cagar budaya tersebut bisa menguntungkan secara materi. Melalui pelatihan manajemen yang matang, sektor ini turut andil dalam mengembangkan komunitas yang mengelola cagar budaya. 


Pelestarian cagar budaya berbasis komunitas hendaknya ditangani dengan profesional. Strategi yang baik patut dikembangkan agar hasil yang diperoleh optimal. 

Langkah awal sebelum merumuskan strategi yang baik ialah membuat analisis SWOT. Melalui analisis ini, dapat diketahui berbagai kekuatan, peluang, kelemahan, dan ancaman terhadap praktik pelestarian cagar budaya berbasis komunitas. Adapun contoh analisis SWOT adalah sebagai berikut:

Analisis kekuatan meliputi adanya dukungan politik atau tidak terhadap komunitas, ketersediaan dana, dan faktor kepemimpinan komunitas yang kuat. Sedangkan analisis peluang di antaranya adalah peluang peningkatan ekonomi lokal, peluang peningkatan keamanan terhadap cagar budaya, dan peluang meningkatkan citra publik komunitas. 

Analisis kelemahan antara lain kompleksitas yang ada di tubuh komunitas, kerugian yang mungkin terjadi, dampak lingkungan yang tidak diharapkan, tidak adanya bimbingan dari arkeolog dan manajemen dalam komunitas. Sedangkan analisis ancaman meliputi tidak disiplinnya anggota komunitas, dan lingkungan yang tidak mendukung terhadap program komunitas.

Setelah melihat analisis SWOT di atas, maka disusunlah sebuah strategi yang baik. Strategi ini diharapkan mampu memaksimalkan kekuatan, mengambil peluang, dan meminimalkan kelemahan serta mengubah ancaman menjadi nilai tambah. Strategi yang diterapkan ialah semakin menguatkan dukungan politik dan ketersediaan dana. Tetapi, komunitas juga harus mempertahankan kepemimpinan internalnya. Langkah selanjutnya, komunitas harus memperhatikan dengan jeli cash flow yang ada, agar potensi kerugian tidak berkembang. Analisis terhadap cash flow yang ada ini juga dapat dijadikan sarana untuk semakin mengembangkan pelestarian, sehingga citra publiknya akan terangkat melalui pemberdayaan ekonomi lokal. Langkah lainnya yaitu komunitas harus menggandeng arkeolog dan tim manajemen. Hal ini dimaksudkan agar pelestarian cagar budaya dapat terus berlanjut sesuai ketentuan yang berlaku dan tetap efisien secara manajemennya. Manajemen yang efisien, secara tidak langsung akan berdampak pada meningkatnya disiplin anggota komunitas. Jika seluruh anggota berdisiplin, tentunya lingkungan sekitar akan mendukung berbagai program komunitas.

***

Setelah membaca tulisan di atas, jangan lupa berpartisipasi pada Kompetisi "Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!". Untuk lebih jelasnya, lihat poster di bawah ini.



Sumber:

  • https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
  • Pasaribu, Yosua Adrian. (2018). Kampanye Kesadaran Masyarakat Mengenai Pelestarian Cagar Budaya Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010. Majalah Arkeologi Vol. 27 No.1 (15-30). 
  • Wibowo, Agus Budi. (2014). Strategi Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Berbasis Masyarakat: Kasus Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Gampong Pande Kecamatan Kutaraja Banda Aceh Provinsi Aceh. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 1, Hal 58-71.

2 Comments

  1. Mari peduli dengan cagar budaya Indonesia, biar tidak dianggap fairy tale ya kak untuk generasi penerus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, karena cagar budaya adalah bukti otentik sejarah:)

      Delete