Buku Bajakan, Masihkah Layak Dipertahankan?

Membaca buku adalah hobi saya. Biasanya saya tidak peduli di mana saja saya berada, saya akan terus membaca. Sayangnya, hobi dalam hal literasi seperti saya, belum menjadi kebiasaan jamak orang Indonesia. Terbukti, Indonesia berada di urutan ke-60 dari 72 negara dalam hal minat baca. Data ini dirilis oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development melalui riset yang diselenggarakan pada tahun 2017 silam. 

Industri perbukuan di Indonesia memang lesu. Hal ini disebabkan karena masih rendahnya angka penerbitan buku. Selain itu, minat baca yang rendah juga turut menjadi pemicu. Belum lagi persoalan pelanggaran hak cipta yang berupa pembajakan buku. Tidak hanya ketiga hal tersebut yang mengancam industri perbukuan, masih ada ancaman lain yang terus melaju. Apalagi jika bukan harga yang tinggi untuk buku-buku bermutu. 


Sebagai penikmat buku, saya pun mulai khawatir tentang masa depan bidang perbukuan. Meski regulasi tentang pembajakan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, tetapi pembajakan buku terus saja merajalela. Padahal, di regulasi itu dengan jelas disebutkan bagi para pelanggar hak cipta akan dikenai hukuman denda dan penjara. Alih-alih razia buku bajakan diberlakukan, kenyataannya industri buku bajakan malah semakin berkembang.

Saya mencoba berandai-andai, di Indonesia sering dilakukan razia buku bajakan seperti maraknya razia lalu lintas. Ah, tapi menunggu hal tersebut menjadi kenyataan, sepertinya bukan jalan teratas. Nah, apakah kita harus diam saja sembari terus merasa was-was?

Ide berikut bisa dijadikan referensi untuk memutus mata rantai buku bajakan:

  • Hindari membeli buku bajakan. Jika dana tidak mencukupi untuk membeli buku asli, pilih alternatif meminjam di perpustakaan atau menunggu buku tersebut didiskon. 
  • Viralkan pentingnya membeli buku asli. Upaya ini merupakan salah satu tahap untuk membangun budaya masyarakat terkait pembelian buku.
  • Membuat regulasi yang pasti terhadap industri literasi. Regulasi ini seyogyanya dibarengi dengan penegakan hukum yang terperinci.

Buku best seller sering menjadi sasaran pembajakan. Banyak penerbit yang bisa menelurkan buku best seller, termasuk penerbit Mizan. Buku best seller ini biasanya ditulis oleh penulis terkenal. Dengan kecanggihan teknologi yang dimiliki pembajak, buku best seller yang telah dibajak ini hampir serupa dengan buku aslinya. Tentu saja, pembeli yang harus jeli untuk membedakan buku bajakan dan buku asli.

Ada banyak ciri yang melekat pada buku bajakan. Buku bajakan biasanya mempunyai warna sampul cenderung buram. Secara kasat mata, warna ini tidak terlalu tajam. Selain itu, pada sampul buku bajakan jarang ada cetakan timbul. Kemudian, kertas yang digunakan pada buku bajakan biasanya tidak bagus. Bahkan hasil cetakannya ada yang tidak bisa dibaca. Ciri lainnya yang melekat pada buku bajakan yaitu tidak rapinya penjilidan. Hal ini menyebabkan buku mudah rusak walau baru sebentar dibaca.


Ketika ada buku bajakan, tentu ada buku yang asli. Ada beberapa ciri yang melekat pada buku asli. Pertama, pada buku asli, warna sampulnya cukup tajam. Sangat elok ketika dipandang. Kedua, terdapat cetakan timbul pada sampul buku. Untuk membuat cetakan ini, biasanya memerlukan teknik khusus yang tidak mudah ditiru. Ketiga, kualitas kertas pada buku asli cenderung bagus. Bahkan, ada beberapa buku yang menggunakan kertas art paper. Keempat, buku asli biasanya mempunyai kualitas penjilidan yang rapi.


Maraknya buku bajakan yang beredar, tak lepas dari permintaan buku bajakan yang meningkat. Peningkatan ini direspon oleh oknum pembajak buku secara cepat. Sesuai hukum ekonomi, jika permintaan meningkat,  maka harga barang tersebut juga melesat. Kenaikan harga ini tentu menjadi keuntungan oknum pembajak. Negara, penerbit, percetakan, penulis, editor, dan ilustrator tidak mendapat keuntungan sama sekali. Padahal, mereka telah berkarya dan bekerja secara nyata. Bisa jadi, hasil karya tersebut adalah satu-satunya sumber penghidupannya. Artinya, ketika membeli buku bajakan, secara tidak langsung si pembeli melalukan kezaliman terhadap orang-orang yang sumber penghidupannya dari sebuah buku. Masihkah Anda tega berlaku seperti itu?


Jadi, apa saja bahaya pembajakan buku?
  1. Mematikan kreativitas penulis.
  2. Merugikan banyak pihak.
  3. Merusak peradaban.
  4. Melunturkan sikap saling menghargai.
Saya optimis, para pembaca tulisan saya adalah orang-orang yang bijaksana. Orang yang bijaksana biasanya bisa berpikir jernih. Terlebih jika sudah membaca uraian saya di muka, pasti semakin yakin bahwa menambah ilmu harus ditempuh dengan cara yang baik, bukan dengan membeli buku bajakan. Saya yakin para pembaca akan berpikir jernih terhadap buku bajakan, masihkah buku bajakan layak dipertahankan? 





Sumber:


0 Comments