Tadi malam saya mendengar kabar duka
lagi dari seorang kawan di Jogja. Suaminya meninggal karena sakit. Suaminya
masih terhitung muda. Sedih rasanya mendengar hal itu. Padahal, sekitar tiga
bulan yang lalu, seorang kawan di Jogja juga mengabarkan suaminya meninggal
karena kecelakaan. Sedih, tetapi harus rela demi lancarnya jalan peristirahatan
yang terakhir suami tercinta. Sedih, tetapi harus bangkit dan tersenyum demi
buah hati yang masih belia semua.
Ingatan saya melayang pada kakek saya
yang telah meninggal dunia. Saat terakhir, kami hanya bercakap melalui telepon.
Karena terbentang pulau dan lautan memisahkan kami. Kakek yang sederhana semasa
hidupnya, ternyata mampu meninggalkan banyak hal untuk kami. Kakek yang lebih
mementingkan ilmu daripada apa pun. Masih terngiang beliau mengutus saya untuk
segera mengambil program profesi dan S2 akuntansi segera setelah saya
menamatkan program sarjana akuntansi di UGM. Karena kakek pernah tersenyum
bangga saat saya dipanggil di upacara wisuda sebagai wisudawan terbaik, cum laude dan waktu studi tercepat. “Mbah Kung, bilih sampun dumugi wedhalipun, kula badhe ngangge toga S2. Ugi toga wonten program saklajengipun. Wedhalipun ingkang dereng kepanggih,
ananging kula taksih smangat dumugi sakmenika mbah..”. Sebelum ajalnya,
kakek juga sempat kembali tersenyum bangga saat saya menunjukkan SHM sebuah
rumah di Jogja hasil keringat saya. Kesederhanaan kakek yang teramat bersahaja,
yang belum tentu bisa ditiru anak cucunya di era hedonisme ini. Padahal jika
mau, hidup bermegah pun beliau mampu melakukannya. Tetapi tidak, beliau lebih
mementingkan anak cucunya hidup sejahtera dengan aneka warisan harta, ilmu dan
budaya yang dimiliki hingga kematian datang menjemputnya. Kakek telah melakukan
yang terbaik di saat terakhirnya.
Kematian itu pasti datang, entah
kapan. Jika sudah saatnya, ianya tak kan pilih-pilih usia. Entah saat muda usia
maupun saat senja. Tetapi, kematian adalah sesuatu yang pasti yang patut kita
nanti dengan persiapkan diri. Karena nanti, esok atau lusa kita pasti akan
memenuhi panggilan-Nya. Amalan terbaik semoga menjadi penutup kita saat wisuda
usia. Oleh karena saat kematian itu datang tak tahu kapan, sewajibnya kita
terus, terus, dan terus melakukan amalan terbaik. Karena bisa jadi, amalan
itulah amalan yang terakhir kita sebelum purna usia.
Jika kematian datang, kita akan pergi
meninggalkan kefanaan dunia. Meninggalkan semua manusia. Anak, pasangan, orang
tua, mertua dan semua kerabat akan kita tinggalkan. Sedari sekarang, ada
baiknya kita persiapkan pemahaman bahwa kematian itu akan datang. Pemahaman itu
bisa kita upayakan dengan membuat agama sebagai atmosfir kehidupan yang tak
terpisahkan. Pemahaman yang baik akan melahirkan tindakan yang semestinya saat
kematian itu datang. Akan mengupayakan pahala yang terus melimpah meski kita
telah tiada.
0 Comments