Seringkali
kita mendengarkan orang bernyanyi sebuah lagu di sekitar kita. Wajar dan
sah-sah saja nyanyian itu jika sesuai usia yang bernyanyi. Tetapi, sudah
terjadi di kalangan masyarakat umum bahwa tidak ada batasan usia untuk
bernyanyi apa saja. Bahkan, masyarakat sudah menganggap hal biasa bila seorang
anak bernyanyi lagu dewasa. Hanya sebagian kecil yang prihatin akan hal itu. Tidak
hanya lirik lagu, gerak lagunya pun sudah banyak menyimpang adat Melayu yang
santun. Tak asing bagi mata dan telinga kita, anak-anak di bawah umur dengan
fasih bernyanyi dan bergoyang lagu dewasa. Padahal, jika mau, masih banyak lagu
yang sesuai yang bisa jadi bahan referensi. Misalnya lagu wajib daerah, lagu
wajib nasional atau lagu-lagu bergenre anak-anak yang berkarakter lainnya.
Lagu
dewasa yang dinyanyikan oleh anak-anak tersebut tentu akan berdampak buruk bagi
perkembangan jiwanya. Anak akan mengalami pemikiran dewasa dan aspek
psikologinya pun akan berkembang tidak sesuai tahapan usianya. Hal inilah yang
menjadi cikal bakal dekadensi moral sebuah bangsa. Jika beberapa anak mengalami
hal ini maka lambat laun anak-anak lainnya pun akan tertular hal yang sama.
Begitu seterusnya ketika anak-anak tersebut dewasa dan mempunyai anak, maka
pada generasi selanjutnya akan terulang pembenaran bahwa lagu dewasa lazim
dinyanyikan oleh anak-anak.
Di
samping itu, dengan bernyanyi lagu dewasa anak akan kehilangan berbagai
kesempatan belajar yang melekat pada lagu anak-anak. Pertama, anak akan
melewatkan kesempatan belajar. Contohnya pada lagu anak-anak berjudul “Satu
ditambah Satu”, anak akan belajar matematika secara dasar. Hal ini tidak
ditemukan pada lagu dewasa. Kedua, anak akan melewatkan kesempatan mengenal etika
karena pada beberapa lagu anak terkandung ajaran etika yang luhur. Hal ini
tidak ditemukan pada lagu dewasa. Umumnya lagu dewasa hanya bertema tentang
cinta, yang notabene belum pantas dikonsumsi oleh anak-anak. Apalagi gerak atas
lagu tersebut, umumnya gerakannya tidak sesuai dengan budaya santun kita. Ketiga,
anak akan melewatkan kesempatan belajar bahasa. Pada umumnya, lagu anak-anak
liriknya menggunakan bahasa yang baku baik bahasa daerah maupun bahasa
Indonesia. Tidak seperti lagu dewasa yang seringkali tata bahasa maupun
kosakatanya menyimpang dari bahasa baku.
Sinergi
peran orang tua, lingkungan dan media mempunyai andil besar untuk mereposisi
lagu apa yang pantas dikonsumsi oleh anak-anak. Orang tua sebagai kontrol
pertama atas perilaku anak, mempunyai peran yang penting dalam mengendalikan
lagu yang dikonsumsi anak. Orang tua bisa berperan dengan membelikan kaset
ataupun cd lagu anak-anak. Selain itu, orang tua juga bisa menjadi filter atas
lagu yang ditayangkan di televisi maupun yang diakses melalui internet. Orang
tua berhak memberikan aturan di rumah, lagu apa saja yang boleh diputar dan
didengar oleh anak-anak. Peran lingkungan juga tak kalah pentingnya karena anak
tidak bisa hidup tanpa akses dengan lingkungan, utamanya lingkungan keluarga
dan tetangga. Walaupun di rumah orang tua sudah menerapkan aturan memutar lagu
anak-anak saja, hal ini menjadi tidak berarti apabila lingkungan di luar orang
tua masih membebaskan memutar lagu apa saja. Sebagai anak yang cerdas, tentunya
ia akan bertanya kepada orang tuanya mengapa ia di rumah tidak boleh bernyanyi
lagu dewasa sedangkan saudara sepupu ataupun anak tetangga yang sebaya
dengannya diperbolehkan. Andil yang juga sangat penting adalah keberpihakan
media baik media cetak maupun media elektronik untuk mengkampanyekan lagu
anak-anak. Media cetak berperan diantaranya dengan mempublikasikan aneka lomba
menyanyi anak-anak dengan materi lagu anak-anak juga. Sedangkan media
elektronik berperan dengan menayangkan anak-anak yang bernyanyi lagu anak-anak
saja, bukan memberi izin tayang anak-anak yang bernyanyi lagu-lagu dewasa. Hal
ini karena anak-anak umumnya melakukan imitasi atas apa yang dilihatnya di
televisi/internet maupun apa yang didengarnya di radio. Seolah-olah tayangan
televisi merupakan rujukan yang benar, tidak perlu filter lagi bagi anak-anak.
0 Comments